- Minggu, 22 Desember 2024
Depok – Perselisihan antara warga Perumahan CE dan pengembang Perumahan CGR di Cinere, Depok, berujung pada vonis mengejutkan. Alih-alih menemukan solusi, penolakan warga atas pembangunan jembatan penghubung malah berakhir di pengadilan, dengan warga dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 40,8 Miliar kepada pihak pengembang.
Kasus ini bermula ketika pengembang CGR berencana membangun jembatan di atas Kali Grogol sebagai akses ke proyek perumahan baru mereka. Sebagian lahan yang diklaim pengembang berada di wilayah Perumahan CE, terutama di Blok A. Namun, rencana ini mendapat protes keras dari warga setempat. Warga RW 006, yang merasa tidak pernah menyetujui pembangunan tersebut, menilai jembatan ini akan mengancam keamanan lingkungan mereka.
“Bukan soal menolak pembangunan, tetapi kami ingin lingkungan kami tetap aman. Penambahan akses justru membuka potensi masalah baru,” ujar salah satu warga CE yang ikut tergugat.
Sempat menggugat warga ke Pengadilan Negeri (PN) Depok, pengembang CGR kalah dalam putusan yang diketok pada Oktober 2024. PN Depok menyatakan gugatan pengembang tidak dapat diterima. Namun, pengembang tidak menyerah. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, dan di sinilah segalanya berubah. Majelis hakim yang dipimpin Made Sutrisna membatalkan putusan PN Depok dan memenangkan pihak pengembang.
Majelis hakim menilai alasan keamanan yang diajukan warga CE berlebihan dan tidak berdasar, terutama karena pengembang CGR menerapkan One Gate System di proyek perumahan baru mereka. Selain harus membuka akses jalan, warga juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 40,8 Miliar. Pengembang berdalih bahwa kerugian ini berasal dari pembatalan pembelian 75 persen unit rumah akibat konflik akses tersebut.
Putusan ini tentu menimbulkan kekecewaan mendalam bagi warga. Mereka merasa hak mereka untuk menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan tidak dihiraukan. “Kami hanya ingin keluarga kami aman, dan tidak ada aturan yang kami langgar. Tapi lihat bagaimana ini berujung sekarang,” tambah Ketua RW setempat.
Kasus ini pun menuai perhatian publik. Banyak pihak mempertanyakan apakah putusan ini adil, mengingat konflik berawal dari upaya warga menjaga haknya. Di sisi lain, pengembang bersikukuh bahwa pembangunan akses tersebut penting untuk kelancaran proyek mereka. Hingga kini, warga masih berupaya mencari jalan keluar atas situasi yang semakin memojokkan mereka.
Apakah kepentingan bisnis lebih berharga dibandingkan keamanan lingkungan? Pertanyaan ini menjadi sorotan di tengah polemik panjang yang belum menemui titik terang.